
Senin, 22 Maret UN SMA/SMK dilaksanakan......
blog ini dibuat untuk semua yang ingin bermanfaat bagi sesama
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama” (Surat Kartini kepada Prof. Anton Dan Nyonya, 4 Oktober 1902).([Dakwah Kampus Malang dot Com])
Dilihat dari kata itu, tak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.
Kaum wanita janganlah menafsirkan yang justru terjebak pada ideologi Barat yang menuntuk hak di segala bidang, karena Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu. Itu adalah konteks yang sesungguhnya pada zaman tersebut.
Marilah dengan semangat hari Kartini Wanita Indonesia tidak terbelakang atau malah mundur seperti zaman Jahiliyyah, yaitu zaman sebelum diutusnya Nabi Muhammad di kota Makkah. Semoga terwujud. Seperti judul di atas, "Ibu Kita Kartini Ibu Kita Semua", kita (baik wanita atau pria adalah anak-anak Kartini, jadi, seorang ibu tak mungkin anak-anaknya saling menjatuhkan, saling bersaing, yang ada hanya saling berprestasi. Amin.
Ucapan-ucapan di atas sering terdengar di telinga kita. Secara jujur apakah keluarga kita diberi tontonan seperti itu kita rela. Tidak! Ya, kalau ambil amanat dari cerita seperti itu harus yang baik. Misalnya, sinetron Kasih dan Amara, Cinta Fitri di salah satu tv swasta. Contohnya saja sinetron Kasih dan Amara. Sepanjang episod yang namanya Kasih adalah sosok yang lemah tidak berdaya, selalu nangis kalau ada masalah. jadi semua bikin jengkel. Tontonan yang semestinya menghibur malah menebar kebencian. Memang kita harus cari amanat apa yang ingin disampaikan oleh sutradara. Jelas yang baik misalnya, jangan seperti Amara dan mamanya, jangan selalu menebar kebencian, sampai jangan seperti Kasih yang selalu cengeng, nangis, dan lemah.
Namaun, ketika kita disuguhkan tayangan sepanjang episod tersebut hanya pertengkaran, tipu menipu, atau bunuh membunuh, kapan dengan dengan kita menangkap pesan yang seperti itu? Ini pertanyaan yang perlu direnungkan bersama. dan disikapi oleh produsen-produsen sinetron. Jangnlah hanya mengejar tren konsumen saja. Masih banyak tema yang mendidik lainnya tanpa meningggalkan "estetika" konflik yang memang sebagai bagian intrinsik sebuah cerita. Dari pihak artisnya pun jangan asal bilang "ya" ketika disodori peran yang meracuni masyarakat terutama generasi muda. Sekian mohon maaf.